Reformasi yang membuahkan hasil: Praktik inovatif mendorong sektor kelapa sawit lebih hijau

12 Feb 2014

JAKARTA, 12 Februari 2014 – Narasi yang ada di seputar industri kelapa sawit biasanya bicara mengenai perusakan hutan, konflik dengan masyarakat setempat, dan hilangnya habitat orang utan. Namun, semakin banyak perusahaan kelapa sawit melihat bahwa bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan bisa mendatangkan keuntungan dan membantu mereka mendapatkan pelanggan dan pasar baru, menurut sebuah studi yang dipublikasikan hari ini.

Studi dilakukan pada enam perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia, di mana berbagai pendekatan dan praktik baru diterapkan. Upaya-upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), meningkatkan penghidupan petani kecil yang menyuplai pabrik kelapa sawit, dan meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan lahan yang ada, berpotensi untuk mengurangi tekanan untuk menebang lebih banyak kawasan hutan. Indonesia adalah penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.

Studi berjudul Praktik-praktik Pengelolaan Terbaik pada Sektor Kelapa Sawit di Indonesia, yang dibuat oleh Daemeter Consulting, menggarisbawahi pergeseran di industri kelapa sawit menuju proses produksi yang lebih bertanggung jawab. Desakan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah, investor dan konsumen, menjadi penggerak utama perubahan ini. Namun, perusahaan juga menyadari bahwa lahan pertanian semakin terbatas, konflik dan perebutan lahan akan berakibat buruk bagi stabilitas rantai pasokan, dan bahwa prinsip hijau merupakan cara terbaik untuk meyakinkan konsumen yang peduli akan dampak industri kelapa sawit.

“Keberlanjutan semakin dipandang oleh industri sebagai sumber inovasi dan pertumbuhan, bukan sekedar bagian dari pengelolaan risiko. Tren ini perlu dihargai dan diperkuat,” kata Gary Paoli, Direktur Penelitian dan Pengembangan di Daemeter dan penulis utama laporan tersebut.

Laporan ini tidak disponsori oleh industri mana pun. Dukungan untuk studi ini berasal dari sekelompok yayasan dari Amerika Serikat yang mendorong adanya rantai pasokan yang bebas deforestasi dan pelibatan aktif sektor kelapa sawit.

Laporan ini tidak mengabsahkan seluruh rantai pasokan perusahaan-perusaahaan yang menjadi obyek kajian. Studi ini lebih bertujuan untuk memberikan apresiasi atas upaya perusahaan di bidang tertentu, yang mencerminkan perencanaan, kerja sama dan investasi yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Banyak informasi dalam studi kasus ini tidak diketahui masyarakat di luar industri. Bahkan, dalam beberapa kasus, informasi ini tidak diketahui pihak-pihak di luar perusahaan yang melakukannya, kata Paoli. Salah satu tujuan utama kajian ini adalah untuk meletakkan landasan pengembangan jaringan pembelajaran seputar praktik-praktik yang baik.

Perusahaan-perusahaan yang dikaji termasuk REA Holdings PLC, yang menerapkan alat untuk mengukur dan mengurangi emisi GRK di sepanjang proses produksi kelapa sawit; PT Inti Indosawit Subur, yang mengembangkan sistem dukungan finansial dan teknis yang mampu meningkatkan hasil dan pendapatan ribuan petani kecil; serta PT Astra Agro Lestari, yang menerapkan pendekatan strategis melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk mendorong kewirausahaan pertanian dan menciptakan nilai bersama dengan komunitas lokal.

“Kami memandang pemantauan jejak karbon sebagai alat untuk mendorong efisiensi yang lebih baik lagi dalam praktik manajemen kami, sekaligus untuk mengidentifikasi kemungkinan pengurangan emisi GRK. Proses ini penuh tantangan, tapi kami melihat bagaimana hal-hal tersebut menjadi perhatian para pemangku kepentingan dan bahwa diperlukan lebih banyak transparansi,” kata Sophie Persey, Group Sustainability Manager di REA Holdings.

Studi ini juga melihat upaya di Cargill, agrokorporasi Amerika Serikat, yang mengembangkan praktik-praktik untuk meningkatkan hasil kelapa sawit dan mengurangi penggunaan pupuk. Berbagai upaya tersebut ternyata berhasil diterapkan bahkan di lahan kritis, yang jika diadopsi oleh industri sawit secara keseluruhan akan bisa mengurangi tekanan untuk membuka kawasan hutan. Wilmar International, perusahaan dagang (trader) kelapa sawit terbesar di dunia, dikaji sehubungan dengan pengembangan cara dan kemitraan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dalam perkebunan melalui pemeliharaan koridor satwa liar dan habitat penting bagi flora dan fauna yang terancam punah. Musim Mas Group menjadi contoh perusahaan yang menerapkan praktik Bebas Limbah, terutama dengan membangun fasilitas penangkap gas metana untuk mengurangi GRK maupun dampak lingkungan lainnya.

“Hasil upaya kami menunjukkan potensi yang lebih besar bagi kepala sawit, yang saat ini pun sudah merupakan tanaman minyak yang paling produktif di dunia,” kata John Hartmann, CEO Cargill Tropical Palm Pte. Ltd. “Populasi dunia akan meningkat dan memberikan tekanan yang sangat besar bagi lahan yang tersisa untuk memenuhi permintaan makanan dan energi yang terus bertumbuh. Ini merupakan masalah yang mempengaruhi semua manusia. Karena itu, kami mendukung kajian ini yang menunjukkan bahwa industri kelapa sawit dapat meningkatkan produksi melalui penerapan praktik-praktik pengelolaan terbaik saja, yang mengurangi tekanan untuk konversi lahan serta jejak karbon dan kimia industri.”

Studi kasus ini menggarisbawahi berbagai motivasi perusahaan dalam mengadopsi praktik-praktik yang baik, mulai dari kesadaran bahwa industri kelapa sawit sedang berubah atau bahwa upaya ini baik untuk pendapatan, sampai ke usaha untuk menyelesaikan masalah-masalah yang selalu terjadi, seperti hubungan yang buruk dengan pemasok dan LSM, atau karena para pemimpin perusahaan memiliki visi progresif dalam isu-isu keberlanjutan.

Dr. Gan Lian Tiong, Group Head of Sustainability untuk Musim Mas, mengatakan bahwa “Ketika kami memulai proyek ini, motivasi utama kami adalah komitmen Presiden Direktur untuk memitigasi dampak operasi kami terhadap lingkungan dan meraih kesempatan yang bisa didapatkan dari praktik-praktik berkelanjutan. Kami menemukan bahwa konsumen memilih untuk bekerja sama dengan kami karena proyek kami membantu konsumen mengurangi jejak karbon produk mereka.”

Namun, walaupun studi kasus ini telah memberikan contoh-contoh positif, masih banyak yang perlu dilakukan untuk mencapai visi Indonesia untuk sektor kelapa sawit, yaitu sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan dampak sekecil mungkin, kata para penulis.

“Tata kelola kelapa sawit di Indonesia yang sangat terdesentralisasi memberikan banyak kesempatan kepada perusahaan untuk menentukan dampak mereka. Penggunaan uji tuntas secara lebih luas untuk menghindari ijin-ijin yang ada di daerah-daerah yang sensitif dari sisi lingkungan maupun sosial, dan keputusan pemberian pinjaman yang lebih berhati-hati oleh lembaga keuangan perlu didorong supaya investasi di masa depan diarahkan ke daerah-daerah dengan dampak sosial dan lingkungan yang rendah,” kata Paoli.

Simon Siburat, Group Sustainability Controller di Wilmar, setuju akan hal ini, tapi mengingatkan bahwa perusahaan tidak dapat bergerak sendiri. “Dunia usaha akan membuka jalan dengan tindakan sukarela, tapi untuk mengubah industri secara keseluruhan dan menarik lebih banyak produsen, kebijakan pemerintah perlu lebih mendukung, masyarakat sipil perlu menjadi mitra selain menjadi pengawas, dan pasar perlu mengapresiasi praktik yang baik. Tanpa elemen-elemen pembangun ini, industri akan berangsur membaik, tapi tidak secepat yang kita harapkan.”

Laporan Best Management Practices in the Indonesian Palm Oil Sector tersedia di sini (dalam Bahasa Inggris). Ringkasan eksekutif studi tersedia di sini (dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia).

Produksi kelapa sawit di Indonesia

Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dan Malaysia ada di urutan kedua. Kedua negara ini menghasilkan sekitar 85 persen kelapa sawit dunia. Wilayah yang ditanami kelapa sawit di Indonesia ada sekitar 9 juta hektar. Luas wilayah ini kira-kira meningkat dua kali lipat pada periode antara 2000 hingga 2010. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mengatakan ada cukup lahan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit sampai 18 juta hektar pada tahun 2020. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan produksi kelapa sawit di tahun 2013 mencapai 27 juta ton. Sekitar 70 persen dari produksi ini diekspor. Banyak LSM dan ahli yang menyebut produksi kelapa sawit sebagai penyebab utama deforestasi dan emisi dari penggunaan lahan di Indonesia, yang menyumbangkan lebih dari tiga perempat jejak emisi nasional. Pemerintah baru-baru ini memperkenalkan Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil Standard, atau ISPO) untuk memperkuat penegakan peraturan dan mendorong keberlanjutan dalam industri tersebut.

Tentang Daemeter Consulting

Daemeter adalah perusahaan konsultan independen terdepan yang mendorong tercapainya pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab dan adil, terutama di negara-negara berkembang di Asia. Daemeter menawarkan jasa di berbagai sektor, termasuk kehutanan, pertanian, energi, pertambangan dan pembangunan internasional. Klien-klien kami terdiri dari perusahaan dalam negeri dan multinasional, LSM, lembaga donor, pemerintah, dan lembaga penelitian dan sering menjembatani berbagai kepentingan kelompok-kelompok ini. Daemeter memiliki kantor di Indonesia dan Amerika. Silakan kunjungi: http://daemeter.org

Tentang sponsor studi ini

Studi ini didukung oleh Climate and Land Use Alliance. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi: http://www.climateandlandusealliance.org/